Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pebisnis Indonesia di Myanmar, Berbagi Kisah Kunci Bertahan di Tengah Gejolak untuk Para Entrepreneur”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2021/02/28/070618270/pebisnis-indonesia-di-myanmar-berbagi-kisah-kunci-bertahan-di-tengah?page=all.
Penulis : Bernadette Aderi Puspaningrum
Editor : Bernadette Aderi Puspaningrum
Pebisnis Indonesia di Myanmar, Berbagi Kisah Kunci Bertahan di Tengah Gejolak untuk Para Entrepreneur
Berani memanfaatkan peluang Keputusan Kiwi mencemplungkan diri ke dunia entrepreneurship di Myanmar menurutnya diluar rencana. Awalnya dia menerima tantangan dari perusahaan otomotif tempatnya bernaung untuk membantu mengembangkan bisnis di Burma, yang saat itu masih di bawah pemerintahan militer. Sedang asik belajar mendalami industri di Myanmar, tiba-tiba “bencana” di dalam negeri terjadi. Saat itu, pecahnya krisis 1998 membuat perusahaannya terpaksa menariknya pulang ke dalam negeri. Tapi dia menolak berhenti belajar dan memilih menekuni bidang yang sedang dipelajarinya dan bertahan di Myanmar. . Jadi harus bersyukur kalau dikasih masalah berarti kita sedang diberi banyak kesempatan,” ungkapnya. Entrepreneur menurutnya harus punya endurance (daya tahan), yang bisa didapat dengan mengenal passion. Kemampuan itu memungkinkan orang bekerja dengan tulus dan senang hati, bahkan tanpa dibayar sepeserpun. Sebaliknya, tanpa kecintaan mendalam atas apa yang dikerjakan seseorang sering kali sulit bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan. Maka penting bagi seorang entrepreneur untuk mengenal baik dirinya sendiri, juga memiliki visi dan misi dalam membangun usaha. Dalam kondisi yang penuh gejolak terutama dari eksternal seperti saat pandemi ini sebuah bisnis harus bisa beradaptasi dengan cepat. Proses itu bisa dilakukan jika management memiliki sumber daya manusia dan kapital yang “agile.” Masalahnya kebanyakan pebisnis di Indonesia banyak menerapkan prinsip ekonomi barat. Di mana sebuah usaha bergantung pada hutang untuk bisa berjalan sehingga memberi ruang terbatas dalam berinovasi. Padahal menurut Kiwi yang paling penting dalam sebuah usaha adalah ketersediaan cadangan yang baik berupa kapital maupun aset sumber daya manusia. Dengan itu perusahaan dapat dengan leluasa melakukan inovasi untuk beradaptasi dalam kondisi apapun. “Jadi bukan problemnya itu pandemi tapi masalahnya ada di persiapan kita dan pola pikir kita” kalau kita bisa rubah dan sisakan infrasstruktur untuk memungkinakan kita bisa berubah dengan cepat kita past
SDM nasional tak kalah saing, tapi …
Soal kualitas sumber daya manusia (SDM), Indonesia menurutnya bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara di dunia. SDM yang cerdas di tanah air sangat banyak sehingga tidak akan kalah saing dari segi ilmu. Bahkan dalam Artificial Intelligence (AI), pebisnis yang sudah merambah ASEAN dan China itu menilai Indonesia merupakan salah satu pemimpin di Asia Tenggara. Terlebih soal pengembangan software karena dukungan data dasar yang melimpah di dalam negeri, Tapi hanya satu yang menurutnya perlu mendapatkan perhatian lebih yaitu terkait mental SDM Indonesia. “Indonesia itu banyak yang pinter. Cuma permasalahannya Indonesia itu suka bully (melecehkan),” katanya prihatin. Persoalan mental ini menurutnya dapat menghambat perkembangan kecerdasan orang-orang Indonesia. Ide out of the box sering kali lebih banyak mendapat cibiran, bukannya didukung atau diapresiasi. Bahayanya untuk mereka yang tidak memiliki mental yang kuat, kritik negatif akan menghambat inovasi dan pemikiran. Iklim ini merusak proses pengembangan ide tiap individu dalam proses belajar mewujudkan inovasi terutama jika ingin menjadi entrepreneur. Kiwi sendiri mengaku perjalanannya menuju capaian bisnis yang sekarang diraih tidak lepas dari cemooh orang-orang disekitarnya. Terlebih sebagai pionir pengembangan AI di Indonesia, idenya saat itu banyak mendapat tantangan. “AI saya awal-awal diketawain waktu itu. Orang gila tuh si kiwi kata orang. Tapi dengan adanya pandemi dan bagaimana pergeseran cara kita bekerja sekarang terbukti startup dari inkubator kami sekarang jadi naik daun,” kata dia.
Keberaniannya berpikir jauh ke depan kini mulai menunjukkan hasil. Diversifikasi usaha ke sektor teknologi yang dilakukan perusahaannya kurang lebih enam tahun lalu justru menjadi generator keuntungan selama pandemi. Inkubator startup Idealab yang dikembangkan perusahaannya sekarang sudah membina 45-50 startup di Indonesia. IdeaLab memiliki misi untuk mengembangkan teknologi berbasis green economy untuk mengurangi climate change, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia serta industri UKM agar lebih melek teknologi melalui industri 4.0. Saat banyak sektor usaha di perusahaannya terengah-engah, sektor digital ternyata bisa sedikit memberi angin segar. Pertumbuhan sektor ini selama satu tahun pandemi terbilang fantastis. Sebanyak 70 persen startup yang idealab bina tumbuh antara 200-600 persen. Pria yang kini tengah menjalani studi doktoral di Universitas Gajah Mada ini juga kembali mengingatkan para entrepreneur pentingnya teori dasar dalam membangun bisnis.Yaitu dengan berani membangun bisnis baru yang dapat “mengganggu” bisnis normal yang sudah ada di pasar. Saat memutuskan untuk berbisnis dia menekankan tiap orang harus berani gagal. Kiwi menyampaikan beberapa indikator yang bisa menjadi tolak ukur kapan sebuah usaha itu harus dihentikan. Di antaranya merugi terus menerus, tidak memiliki pelanggan tetap, dan pola marketing yang tidak mampu menembus konsumen. Sementara secara personal jika entrepreneur mula merasa kehilangan misinya, tidak lagi bersemangat untuk berusaha, merusak kesehatan sendiri bahkan mengganggu relasi dengan keluarga atau orang lain, maka sebaiknya seorang pebisnis sadar bahwa usahanya harus dihentikan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pebisnis Indonesia di Myanmar, Berbagi Kisah Kunci Bertahan di Tengah Gejolak untuk Para Entrepreneur”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2021/02/28/070618270/pebisnis-indonesia-di-myanmar-berbagi-kisah-kunci-bertahan-di-tengah?page=all.
Penulis : Bernadette Aderi Puspaningrum
Editor : Bernadette Aderi Puspaningrum
Tinggalkan Balasan